"The contribution of Ibn Sahnun in declaring education as an independend field of knowledge are yet to be given enough attention for research, evaluation and testing. It is high time that such scholarly and elegantly produced theories are properly studied and analysed to enrich the human experiences in teh field of education and learning." (Sha'ban Muftah Ismail, 1995)
Muhammad Ibn Sahnun dilahirkan pada tahun 202 Hijriah di Qayrawan. Sejak kecil Muhammad Ibn Sahnun sudah menunjukan kecerdasannya dalam belajar. Ayahnya, Abi Sa’id Sahnun, merupakan guru pertamanya dan sangat memahami karakter dan kepribadian Ibn Sahnun. Perhatian sang ayah terlihat dari surat yang ditulis beliau kepada gurunya ketika ingin mengirim Ibn Sahnun ke Kuttab (sekolah Al Qur’an). Sang ayah benar-benar mempersiapkan Ibn Sahnun secara intelektual dan akademis. Selain itu kondisi sosial cultural di wilayah Qayrawan pada saat Ibn Sahnun lahir, sangat menunjang pengembaraan intelektualnya. Abad ke-2 hijirah, wilayah Afrika utara sangat terkenal di seluruh dunia akan kemajuan ilmu pengetahuannya. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya ilmuwan dari wilayah timur yang hijrah ke barat, yaitu maghrib, al qayrawan, Andalusia, Toledo, dan lain-lain. Buku-buku pengetahuan banyak ditulis dan diterbitkan, universtas memainkan peran utamanya dalam pencarian ilmu pengetahuan, institut/ sekolah teknik dan kejuruan banyak didirikan yang mengajarkan kedokteran, teknik, ilmu matematika, kimia, bahasa, seni rupa, astronomi dan translasi.
Kontribusi Ibn Sahnun bagi pendidikan sangatlah banyak terutama dalam hal metodologi pengetahuan dan penelitian. Dia merupakan muslim pertama yang menggulirkan teori pendidikan. Berkat buku beliau yang berjudul Kitabu Al adab Mu’allimun (adab seorang guru) maka sejak saat itu pendidikan menjadi disiplin ilmu tersendiri karena buku tersebut merupakan buku pertama yang membahas secara khusus mengenai teori pengajaran dan pembelajaran. Ibn Sahnun mampu mengintegrasikan isu pendidikan yang berbeda-beda yang menyangkut orangtua, akademisi, komunitas, pemimpin dan para pendidik yang peduli pada masanya.
Ibn Sahnun menaruh perhatian mendalam terhadap peran guru dalam pendidikan. Beliau tidak menafikan peran elemen pendidikan lainnya, tetapi baginya, guru merupakan elemen terpenting yang harus diprioritaskan karena guru merupakan wakil orang tua. Guru harus mencurahkan segenap perhatiannya bagi sang murid dan harus terlibat secara penuh walau tetap harus memperhatikan batas-batasnya agar murid tidak merasa dikontrol secara ketat oleh sang guru. Oleh karena itu kesejahteraan guru harus sangat diperhatikan sehingga mereka tidak harus mencari pekerjaan sampingan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Beliau membuat kualifikasi yang harus dipenuhi seseorang apabila ingin menjadi profes seorang guru seperti kualifikasi akademis, hapal Al Qur’an dan mampu membacanya dengan baik, memiliki pemahaman tentang fikih Islam, tata bahasa arab, kaligrafi dan lain-lain. Selain itu seorang guru harus memiliki perilaku Islami, jujur, shaleh, bertanggung jawab terhadap anak didiknya bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat nanti. Seorang guru harus mempelajari psikologi anak dan memperlakukan setiap anak dengan istimewa dan tidak melakukan kekerasan terhadap anak secara fisik ataupun mental dengan kata-kata kasar dan kejam. Ibn Sahnun berpendapat penerapan disiplin bagi siswa tidak dimulai dengan hukuman fisik / pukulan. Walaupun demikian beliau tidak mengharamkan penggunaannya tetapi menetapkan ukuran dan efek dari alat yang diperbolehkan untuk digunakan dalam hukuman fisik serta frekwensinya.
Dalam hal manajemen kelas, Ibn Sahnun memberi kebebasan bagi guru agar tidak terpaku dengan kegiatan di dalam kelas. Guru bebas mengajak anak didiknya beraktivitas di luar kelas, berinteraksi dengan lingkungan dan alam sekitar serta memantau perilaku mereka di tengah masyarakat. Guru harus mempersiapkan materi/ bahan ajar dan perlengkapan penunjang kegiatan belajar mengajar sebelum memulai pelajaranya. Menurutnya, seorang guru tidak boleh memerintahkan sang murid membawakan materi yang dia lupa persiapkan ke dalam kelas. Menurut Ibnu Sahnun, Indikator keberhasilan seorang guru dapat dengan mudah dilihat dari tingkat pemahaman seorang siswa terhadap mata pelajaran.
Dalam hal manajemen kelas, Ibn Sahnun memberi kebebasan bagi guru agar tidak terpaku dengan kegiatan di dalam kelas. Guru bebas mengajak anak didiknya beraktivitas di luar kelas, berinteraksi dengan lingkungan dan alam sekitar serta memantau perilaku mereka di tengah masyarakat. Guru harus mempersiapkan materi/ bahan ajar dan perlengkapan penunjang kegiatan belajar mengajar sebelum memulai pelajaranya. Menurutnya, seorang guru tidak boleh memerintahkan sang murid membawakan materi yang dia lupa persiapkan ke dalam kelas. Menurut Ibnu Sahnun, Indikator keberhasilan seorang guru dapat dengan mudah dilihat dari tingkat pemahaman seorang siswa terhadap mata pelajaran.
Ibn Sahnun memberi pandangannya mengenai kurikulum belajar anak. Dia mengkombinasikan pelajaran Al Qur’an dengan praktek langsung dari teks yang telah dipelajari. Guru harus menunjukan kepada anak bagaimana mempersiapkan diri ketika sholat lima waktu terutama ketika mereka telah mencapai usia tujuh tahun, seperti membersihkan diri sendiri , berwudhu dan bagaimana sholat dengan khusyuk. Pengajaran sholat lima waktu semestinya dapat membantu siswa memahami ibadah wajib dan sunah dan mampu beribadah dengan penuh pengabdian kepada Allah SWT.
Al Qur’an merupakan pengetahuan yang wajib dipelajari bagi setiap siswa. Dalam pengajaran Al Quran hendaknya diajarkan akar kata serta asal katanya sehingga dapat memberikan gambaran secara menyeluruh kepada siswa dan bukan pemahanan parsial. Guru harus mengajarkan pengetahuan tambahan diataranya matematika, puisi, bahasa arab, pidato dan sejarah. Ibn Sahnun membuka pintu seluas-luasnya bagi guru dan orang tua untuk mengajarkan apa saja kepada anak sepanjang hal tersebut berguna dan dapat membantu perkembangan mental, sosial dan pendidikannya. Selain itu, salah satu keterampilan penting lainnya yang diusulkan oleh Ibn Sahnun untuk dipelajari adalah seni berpidato sehingga siswa mampu melakukan debat dan menunjukan pandangan berbeda serta mengungkapkan idenya melalui bukti dan contoh yang ada. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Ibn khaldun. Menurutnya, terjadinya penurunan kemampuan ilmiah dan akademis di wilayah Ifriqiah (Tunisia, Libya, dan wilayah afrika lainnya), Al Maghrib (Maroko), dan Andalusia (Spayol) karena guru tidak mengajarkan seni berpidato (speech art) sehingga siswa hanya mampu menghapal dan mengulangi apa yang mereka tahu.
Referensi :
Sha’ban Muftah Ismail, Muhammad Ibn Sahnun : An Educationalist and Faqih, Muslim Education Quarterly, Vol. 12, No. 4,The Islamic Academy, Cambridge, 1995.
Referensi :
Sha’ban Muftah Ismail, Muhammad Ibn Sahnun : An Educationalist and Faqih, Muslim Education Quarterly, Vol. 12, No. 4,The Islamic Academy, Cambridge, 1995.