Monday, 15 November 2010

Pendidikan Spiritual


Peradaban Islam adalah peradaban ilmu yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dari pembangunan masyarakatnya. Tidak ada agama selain Islam yang menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai suatu ibadah dan merupakan kewajiban bagi tiap-tiap individu. Ibn Khaldun mengatakan pendidikan haruslah diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Namun, nilai ideal pendidikan Islam yang bersifat transenden dan integral, tidak memisahkan antara alam fisik dan alam metafisik, harus tersingkir akibat beberapa faktor eksternal maupun internal yang dialami oleh umat Islam. Peradaban Barat yang sekular-liberal kemudian berhasil menyebarkan worldviewnya melalui ilmu pengetahuan, baik sains maupun humaniora, ke hampir seluruh wilayah dunia dan terjadilah seperti apa yang dibayangan filsuf asal Perancis, Auguste Comte, pada abad ke 19, bahwa kebangkitan sains Barat akan menggantikan agama dari peradaban.

Kebangkitan sains di Barat juga telah menggantikan jiwa manusia dengan akal pikirannya. Tubuh manusia dianggap tak lebih dari sebuah mesin yang sempurna diatur, dan bekerja dengan prinsip-prinsip hukum matematika. Fritjof Capra seorang ilmuwan Barat dalam bukunya The Turning Point mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya, saat ini ahli-ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi, onkolog bingung tentang penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. Ia menambahkan bahwa sebagian besar akademisi menganut persepsi-persepsi realitas yang sempit yang tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah besar yang merupakan masalah sistemik, artinya, persoalan tersebut saling berhubungan dan saling bergantung (Capra, 2004 : 8-9).
Problematika dunia Barat bukan sekedar problem intelektual, melainkan lebih pada krisis emosional atau lebih tepatnya krisis eksistensial. Ketika sains menjadi menjadi agama baru maka timbulah spiritual phatology, krisis makna, dan masalah kejiwaan lainnya. Agama Kristen telah lama ditinggalkan oleh pengikutnya sehingga Barat sangat bergantung kepada psikologi untuk memahami manusia dengan segala problematikanya. Psikologi klasik di Barat pada awalnya terkait erat dengan agama Kristen, yaitu ketika pada abad ke 13, Thomas Aquinas memadukan psikologi dengan teologi dan etika Kristiani. Namun akhirnya psikologi berangsur-angsur mengadopsi filsafat materialisme dengan munculnya pemikiran Decardes, dan positivisme dari tradisi sains Cartesian-Newtonian yang mengubah secara radikal pokok kajian dan metode psikologi. Kemudian lahirlah aliran psikologi seperti behaviorisme dalam tradisi Watson dan Skinner, dan psikoanalisis yang berasal dari Freud. Sehingga Pada awal abad ke 20, buku-buku teks psikologi telah kehilangan semua referensi tentang kesadaran emosi, dan kehendak .(Graham, 2005 : 34)
Selanjutnya masyarakat Barat yang rasional dan memuja metode ilmiah, tertawan oleh ide spiritualitas dan mengadopsi budaya mistis Timur seperti Tao, Budhisme, Zen, Yoga dan berbagai bentuk meditasi lainnya. Persentuhan tersebut memunculkan aliran psikologi seperti psikologi humanistik serta psikologi transpersonal atau transhuman yang lebih berpusat pada alam semesta (cosmos) dari pada kebutuhan atau kepentingan manusia. Sebuah intitusi pendidikan di Amerika, yaitu Institut Esalen di Big Sur, California, pada awal pendiriannya di tahun 1966, mengundang eksponen dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari Kebudayaan Timur dan Barat, termasuk Yoga, meditasi, pengubah kondisi kesadaran, seni bela diri, tarian, pemuka agama, filsuf, artis, ilmuwan, dan psikolog untuk bertukar pandangan dalam seminar dan workshop serta program-program lainnya dalam rangka mewujudkan tujuan Institusi ini sebagai pusat pendidikan yang mencakup dimensi spiritual dan intelektual. Pertemuan ini diklaim telah menghasilkan berbagai pendekatan, dan juga teknik-teknik yang diturunkan dari filsafat dan agama-agama Timur atau tradisi esoteris yang dicangkokkan pada psikologi Barat (Graham, 2005: 73).
Topik mengenai spiritualitas kemudian bermunculan dan menjadi cover story majalah terkenal di Amerika seperti USA Today dan Newsweek. Majalah Time pada tahun 2003 melaporkan bahwa di Amerika, meditasi diajarkan di sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, firma-firma hukum, institusi pemerintahan, kantor-kantor korporasi, dan penjara. Bahkan Hotel-hotel di wilyah Catskills, New York, berubah menjadi tempat-tempat meditasi dengan begitu cepat sehingga menurut Joel Stein, seorang penulis di Time, kawasan Borscht Belt beralih nama menjadi Buddhist Belt (Aburdene, 2006 : 7).
Fenomena di atas tidaklah mengherankan, karena Barat memang memiliki kerancuan dalam mengkonsepsikan spiritualitas dan agama disebabkan pemikiran mereka yang dualistik, yaitu memisahkan antara dunia material dan spiritual. Sebagian besar ahli psikologi Barat memandang spiritualitas bersifat personal dan berada pada ranah psikologis, sedangkan agama bersifat institusional dan pada ranah sosiologis. Beberapa menyatakan bahwa agama diasosiasikan dengan konservatif (conservatism) dan spiritualitas dikaitkan dengan keterbukaan untuk berubah (openes to change) (Hood, 2009 : 9-10). Konsekuensinya, spiritualitas bisa dicapai dengan atau tanpa melalui agama. Dalam konsep spiritual Barat, spiritualitas dapat dibangun melalui banyak cara, sebagai contoh, melalui agama, pemikiran, doa, meditasi atau ritual (Best, 2000 : 10).
Konsepsi Barat tentang spritualitas yang problematis telah melatarbelakangi munculnya model pendidikan dan pelatihan spiritual yang mengkombinasikan berbagai macam ajaran mistis, sains, psikologi, dalam rangka membangun kecerdasan spiritual (SQ) manusia. Konsep SQ sendiri lahir dari rahim Barat sehingga upaya-upaya meningkatkan kecerdasan spiritual ala Barat pada umumnya tidak mengajarkan manusia menjadi makhluk yang mengakui kebesaran Tuhan dan tunduk pada syariat yang diturunkan-Nya. Menurut Zohar, SQ merupakan perangkat kejiwaan hasil evolusi selama jutaan tahun, yang memungkinkan manusia modern melepaskan kerinduan spiritual mereka tanpa melalui agama formal. SQ adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta itu sendiri, begitu pendapat Zohar dalam bukunya Spiritual Intelligence yang telah diterjemahkan di Indonesia .
Dalam pandangan Islam, spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari Tuhan dan agama (religion). Spiritualitas hanya dapat diperoleh melalui jalan syariah Islam yang bersumber dalam al Quran dan Hadits serta telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sahabat dan generasi salafusalih. Jalan-jalan spiritualitas dengan mengabaikan syariah akan membuat pengikutnya jauh dari kebenaran Islam dan pelakunya tidak akan memperoleh kedamaian hakiki di dunia maupun akhirat.
Konsep kecerdasan spiritual dalam Islam juga sangat jauh berbeda dengan Barat karena SQ di Barat hanya berhenti pada kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari sesuatu yang besar yaitu alam semesta, sedangkan Islam menganggap alam semesta hanyalah makhluk Allah sebagaimana manusia, yang tunduk kepada aturan dan perintah Allah. Oleh karena itu tujuan pendidikan spiritual dalam Islam harus mampu membentuk individu-individu muslim yang paham hakikat eksistensinya di dunia ini serta tidak melupakan hari akhir dimana dirinya akan kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa pendidikan harus diarahkan kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah, dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.