Oleh : Najma Syira
“Barang siapa yang meniti jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah Allah (Masjid), membaca kitab Allah dan mempelajarinya, nicaya turun kepada mereka ketenangan, rahmat melliputi mereka, para Malaikat berkerumun di sekelilingnya dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.”(HR. Muslim).
Islam adalah agama yang menjadikan tradisi keilmuan sebagai corak peradabannya. Tidak ada agama-agama lain yang menjadikan proses mencari ilmu sebagai suatu kewajiban bagi para pemeluknya, kecuali agama Islam. Sebagimana telah diriwatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu dari Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wassalam, beliau bersabda ,
“Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim .” (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah).
Kewajiban mengandung beberapa konsekuensi, salah satunya adalah adanya unsur paksaan jika seseorang tidak mau melakukan perbuatan mencari ilmu. Tidak salah, tapi sungguh indah jika kita bisa menghadirkan cinta dalam proses mencari ilmu. Sebagaimana kita temukan banyak hadits-hadist Rosullah yang menunjukan kecintaan Allah kepada para pencari ilmu. Lihatlah bagaimana Allah memberikan ganjaran Surga kepada mereka, bahkan bukan hanya itu. Allah menjanjikan surga yang berbeda hanya satu derajat dengan para Nabi. [1] Allah juga menunjukan kecintaannya dengan mengerahkan malaikat untuk membimbing para pencari ilmu. Betapa bahagianya mereka karena para malaikat meletakan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu.
“Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu, karena ridha terhadap apa yang dicarinya,” (Diriwayatkan Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Rosul mengilustrasikan bahwa kelebihan orang yang berilmu atas ahli ibadah seperti kelebihan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang-bintang [2] Pada saat bulan purnama, bulan bersinar memenuhi ruang di sudut-sudut bumi dengan cahayanya yang terang. Begitulah orang berilmu, hatinya yang bercahaya akan menyinari hati-hati manusia yang gelap. Jiwanya yang terang akan memberikan petunjuk bagi mereka yang meniti jalan munuju kebenaran Ilahi.
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?” (Az-Zumar : 9)
Dalam tafsirnya, Sayyid Qutb menyatakan bahwa ilmu yang hak merupakan makhrifat, merupakan pemahaman atas kebenaran, merupakan terbukanya mata hati, dan merupakan keterkaitan dengan aneka hakikat yang kokoh di alam semesta ini. Ilmu bukanlah pengetahuan yang berdiri sendiri, yang terpisah dan hanya mengisi nalar, yang tidak sampai ke berbagai hakikat alam semesta, dan tidak menjangkau apa yang ada di balilk suatu realita[3]
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadillah : 11)
Ilmulah yang membina jiwa, lalu dia bermurah hati dan taat. Kemudian iman dan ilmu itu mengatarkan seseroang kepada derajat yang tinggi di sisi Allah. Derajat ini mereupakan imbalan atas tempat yang diberikannya denga suka hati dan atas kepatuhan kepada perintah Rasulullah. [4]
Jika Allah sangat mencintai para pencari ilmu, mengapa kita tidak merubah cara kita berinteraksi dengan ilmu? jangan sampai kita menuntut ilmu hanya karena terpaksa atau karena adanya ambisi duniawi . Cintailah ilmu, karena cinta hanya dapat diraih dengan cinta, sedangkan ilmu adalah salah satu perwujudan cinta Allah kepada makhluknya. Ilmu juga cahaya, dia tidak akan memasuki hati-hati yang didalamnya terdapat penghambaan kepada materi.
Contohlah perjuangan Imam Al-Thabari dalam mencari ilmu. Dia terlahir dari keluarga kurang mampu tetapi semangatnya mencari ilmu tidak pernah terhalang oleh keterbatasan ekonomi keluarganya. Ayahnyalah yang mampu membangkitkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, sehingga saat usianya baru 7 tahun dia sudah hapal Al Qur’an dan dalam usia 9 tahun ia mulai serius mempelajari hadits. Saat menginjak 12 tahun (236H), al-Thabari dilepas ayahnya untuk memulai petualangan panjang keluar tanah kelahirannya guna mencari ilmu yang kelak kemudian menobatkannya sebagai ulama kenamaan yang karya-karya besarnya hingga kini masih dikagumi dan dipelajari.[5]
Pencari ilmu sejati tidak akan membiarkan proses pencariannya itu dikotori oleh perbuatan yang akan menyebabkan hilangnya keberkahaan ilmu. Dia tidak mencari popularitas dan gelar semata sehingga seorang yang benar-benar mencintai ilmu tidak akan pernah berhenti belajar walau ia sudah mendapatkan setumpuk gelar, karena bukan itu tujuan utamanya. Orang yang mencitai ilmu akan selalu rindu untuk menemukan sesuatu yang baru, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan berkeinginan kuat untuk membaginya kepada orang lain. Para pencari ilmu bukan orang-orang yang egois yang ingin menyimpan ilmunya untuk diri mereka sendiri.
Ilmu hanya akan membuka dirinya pada orang yang benar-benar memperjuangkannya. Jadi tak heran jika hambatan dan tantangan dalam mencari ilmu begitu beragam dan banyak. Seorang pencinta ilmu tidak akan mudah berputus asa apalagi sampai menyerah. Perjuangan mencari hikmah dalam lautan ilmu Allah adalah adalah sebuah jihad yang menuntut pengorbanan jiwa dan raga, moril dan materil, karena surga tidak bisa dibeli dengan harga murah.
Perjalanan menyusuri lekuk-lekuk hikmah dalam lautan ilmu-Mu
Adalah sebuah cinta yang tidak pernah berakhir
Cinta yang memberiku sayap
Untuk terbang menyapa-Mu
Cinta di atas cinta
Yang menaburkan kekuatan
Memberikan harapan
Untuk bisa menatap wajah-Mu
REFERENSI :
Al Qur’anul Qariim
Asep Sobari, Ibn Jarir Al-Thabari (224H-310H) Pencari Ilmu Sejati dan Ulama Ensiklopedis, Makalah Diskusi INSISTS, Jakarta, 2008.
Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2007
Mustafa Dieb Al-Bugha Muhyiddin Mistu, Al-Wafi, Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah, Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah, Al-I’tishom, Jakarta, 2003.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 10, Gema Insani Press, Jakarta, 2004.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 11, Gema Insani Press, Jakarta, 2004.
[1] HR. Ath-Thabarani dan Ad-Darimi. Hadits ini hasan mursal.
[2] HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 10, hal. 70
[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 11, hal 194.
[5] Dikutip dari makalah diskusi INSISTS oleh Asep Sobari, dengan judul “ Ibn Jarir Al-Thabari (224H-310H) Pencari Ilmu Sejati dan Ulama Ensiklopedis.”
“Barang siapa yang meniti jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah Allah (Masjid), membaca kitab Allah dan mempelajarinya, nicaya turun kepada mereka ketenangan, rahmat melliputi mereka, para Malaikat berkerumun di sekelilingnya dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.”(HR. Muslim).
Islam adalah agama yang menjadikan tradisi keilmuan sebagai corak peradabannya. Tidak ada agama-agama lain yang menjadikan proses mencari ilmu sebagai suatu kewajiban bagi para pemeluknya, kecuali agama Islam. Sebagimana telah diriwatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu dari Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wassalam, beliau bersabda ,
“Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim .” (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah).
Kewajiban mengandung beberapa konsekuensi, salah satunya adalah adanya unsur paksaan jika seseorang tidak mau melakukan perbuatan mencari ilmu. Tidak salah, tapi sungguh indah jika kita bisa menghadirkan cinta dalam proses mencari ilmu. Sebagaimana kita temukan banyak hadits-hadist Rosullah yang menunjukan kecintaan Allah kepada para pencari ilmu. Lihatlah bagaimana Allah memberikan ganjaran Surga kepada mereka, bahkan bukan hanya itu. Allah menjanjikan surga yang berbeda hanya satu derajat dengan para Nabi. [1] Allah juga menunjukan kecintaannya dengan mengerahkan malaikat untuk membimbing para pencari ilmu. Betapa bahagianya mereka karena para malaikat meletakan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu.
“Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu, karena ridha terhadap apa yang dicarinya,” (Diriwayatkan Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Rosul mengilustrasikan bahwa kelebihan orang yang berilmu atas ahli ibadah seperti kelebihan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang-bintang [2] Pada saat bulan purnama, bulan bersinar memenuhi ruang di sudut-sudut bumi dengan cahayanya yang terang. Begitulah orang berilmu, hatinya yang bercahaya akan menyinari hati-hati manusia yang gelap. Jiwanya yang terang akan memberikan petunjuk bagi mereka yang meniti jalan munuju kebenaran Ilahi.
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?” (Az-Zumar : 9)
Dalam tafsirnya, Sayyid Qutb menyatakan bahwa ilmu yang hak merupakan makhrifat, merupakan pemahaman atas kebenaran, merupakan terbukanya mata hati, dan merupakan keterkaitan dengan aneka hakikat yang kokoh di alam semesta ini. Ilmu bukanlah pengetahuan yang berdiri sendiri, yang terpisah dan hanya mengisi nalar, yang tidak sampai ke berbagai hakikat alam semesta, dan tidak menjangkau apa yang ada di balilk suatu realita[3]
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadillah : 11)
Ilmulah yang membina jiwa, lalu dia bermurah hati dan taat. Kemudian iman dan ilmu itu mengatarkan seseroang kepada derajat yang tinggi di sisi Allah. Derajat ini mereupakan imbalan atas tempat yang diberikannya denga suka hati dan atas kepatuhan kepada perintah Rasulullah. [4]
Jika Allah sangat mencintai para pencari ilmu, mengapa kita tidak merubah cara kita berinteraksi dengan ilmu? jangan sampai kita menuntut ilmu hanya karena terpaksa atau karena adanya ambisi duniawi . Cintailah ilmu, karena cinta hanya dapat diraih dengan cinta, sedangkan ilmu adalah salah satu perwujudan cinta Allah kepada makhluknya. Ilmu juga cahaya, dia tidak akan memasuki hati-hati yang didalamnya terdapat penghambaan kepada materi.
Contohlah perjuangan Imam Al-Thabari dalam mencari ilmu. Dia terlahir dari keluarga kurang mampu tetapi semangatnya mencari ilmu tidak pernah terhalang oleh keterbatasan ekonomi keluarganya. Ayahnyalah yang mampu membangkitkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, sehingga saat usianya baru 7 tahun dia sudah hapal Al Qur’an dan dalam usia 9 tahun ia mulai serius mempelajari hadits. Saat menginjak 12 tahun (236H), al-Thabari dilepas ayahnya untuk memulai petualangan panjang keluar tanah kelahirannya guna mencari ilmu yang kelak kemudian menobatkannya sebagai ulama kenamaan yang karya-karya besarnya hingga kini masih dikagumi dan dipelajari.[5]
Pencari ilmu sejati tidak akan membiarkan proses pencariannya itu dikotori oleh perbuatan yang akan menyebabkan hilangnya keberkahaan ilmu. Dia tidak mencari popularitas dan gelar semata sehingga seorang yang benar-benar mencintai ilmu tidak akan pernah berhenti belajar walau ia sudah mendapatkan setumpuk gelar, karena bukan itu tujuan utamanya. Orang yang mencitai ilmu akan selalu rindu untuk menemukan sesuatu yang baru, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan berkeinginan kuat untuk membaginya kepada orang lain. Para pencari ilmu bukan orang-orang yang egois yang ingin menyimpan ilmunya untuk diri mereka sendiri.
Ilmu hanya akan membuka dirinya pada orang yang benar-benar memperjuangkannya. Jadi tak heran jika hambatan dan tantangan dalam mencari ilmu begitu beragam dan banyak. Seorang pencinta ilmu tidak akan mudah berputus asa apalagi sampai menyerah. Perjuangan mencari hikmah dalam lautan ilmu Allah adalah adalah sebuah jihad yang menuntut pengorbanan jiwa dan raga, moril dan materil, karena surga tidak bisa dibeli dengan harga murah.
Perjalanan menyusuri lekuk-lekuk hikmah dalam lautan ilmu-Mu
Adalah sebuah cinta yang tidak pernah berakhir
Cinta yang memberiku sayap
Untuk terbang menyapa-Mu
Cinta di atas cinta
Yang menaburkan kekuatan
Memberikan harapan
Untuk bisa menatap wajah-Mu
REFERENSI :
Al Qur’anul Qariim
Asep Sobari, Ibn Jarir Al-Thabari (224H-310H) Pencari Ilmu Sejati dan Ulama Ensiklopedis, Makalah Diskusi INSISTS, Jakarta, 2008.
Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2007
Mustafa Dieb Al-Bugha Muhyiddin Mistu, Al-Wafi, Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah, Syarah Kitab Arba’in An-Nawawiyah, Al-I’tishom, Jakarta, 2003.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 10, Gema Insani Press, Jakarta, 2004.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 11, Gema Insani Press, Jakarta, 2004.
[1] HR. Ath-Thabarani dan Ad-Darimi. Hadits ini hasan mursal.
[2] HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 10, hal. 70
[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an, Jilid 11, hal 194.
[5] Dikutip dari makalah diskusi INSISTS oleh Asep Sobari, dengan judul “ Ibn Jarir Al-Thabari (224H-310H) Pencari Ilmu Sejati dan Ulama Ensiklopedis.”
No comments:
Post a Comment