Tuesday, 21 April 2009

Bahaya "Kesetaraan Gender"

And because radical feminism recommends putting women first, making them the primary concern, this approach is accord lesbianism “an honoured place’ as a form of ‘mutual recognition between women’ (Chris Beasley,1999)

Wacana dan isu kesetaraan gender menggema dalam khazanah intelektual muslim Indonesia dimulai pada tahun 1989, ketika jurnal Ulumul Qur’an (UQ) memuat tulisan karya Jane I. Smith dan Yvonne Haddad. Isu yang sama kemudian dimunculkan UQ setahun kemudian dengan menerbitkan tulisan seorang feminis Muslim asal Pakistan, Riffat Hassan. Kedua artikel ini memiliki corak yang sama yaitu berusaha membongkar pemikiran agama Islam, yang menempatkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki. Dari situ kesetaraan gender mulai memikat hati sebagian intelektual muslimah, terutama mereka mengenyam pendidikan Barat melalui program woman study. Kehadiran lembaga donor internasional mempercepat perkembangan wacana dan pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Lembaga-lembaga donor tak segan-segan mengucurkan dana untuk program-program pengembangan kesadaran gender di kalangan intelektual Islam maupun masyarakat luas. LSM-LSM yang menggarap pesantren-pesantren tradisional kemudian bermunculan, sebut saja FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning), Rahima dan Puan Amal Hayati. ( Burhanudin-ed, 2004)

Timbul tanda tanya besar mengapa pihak Barat begitu bersemangat mengkampanyekan kesetaran gender di dunia Islam, ketika pada saat yang sama, isu tersebut mengalami stagnasi dan mulai ditinggalkan masyarakat Barat? Sangat disayangkan jika banyak intelektual muslim menutup mata terhadap bahaya pemikiran ini dan justru berperan sebagai agen dalam mempropagandakan kepada masyarakat luas. Umat Islam hendaknya tidak terpengaruh argumentasi yang menyatakan bahwa kesetaraan gender dapat menjadi solusi dari permasalahan kaum perempuan di dunia Islam, semisal kekerasan rumah tangga (domestic violence) , women trafficking, dan permasalahan sosial lainnya. Sampai saat ini, negara-negara Barat tidak pernah bisa membuktikan bahwa mereka berhasil mengatasi problematika sosial tersebut. Tetapi yang terjadi Justru sebaliknya, kehancuran moral telah merusak tatanan sosial masyarakat Barat, gerakan feminis kemudian disalahkan karena dianggap telah mengubah perempuan menjadi makhluk-makhluk gila karir dan menjauhkan mereka dari kehangatan keluarga.
Kelahiran feminisme sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Islam tidak pernah merampas hak kaum perempuan sebagaimana gereja merampas hak-hak individu dan sipil kaum perempuan selama ratusan tahun. Menurut McKay dalam bukunya a History of Western Society (1983), terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior, bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Doktrin dasar gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanita jualah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. (Maududi, 1995)
Kehidupan keras yang dialami oleh perempuan-perempuan pada saat gereja memerintah Eropa tertuang dalam essai Francis Bacon pada tahun 1612 yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri), di mana disebutkan banyak laki-laki memilih untuk hidup lajang, jauh dari pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak sehingga dapat berkonsentrasi pada kehidupan publiknya. (Arivia, 2002) Mereka tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun, dan hak tersebut baru mereka peroleh pada tahun 1792 M melalui perjuangan yang berat. Perempuan Barat menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan. Kondisi tersebut sangat kontras dengan kondisi perempuan di dunia Islam pada kurun waktu yang sama. Sejak jaman Rasulullah, kaum perempuan telah meramaikan majelis-majelis ilmu, berpartisipasi dalam kegiatan bisnis, bahkan beberapa di antara mereka telah menorehkan tinta emas di medan peperangan, seperti Nusaibah di Perang Uhud dan Khaulah pada perang melawan Imperium Bizantium.
Beberapa feminis mengakui bahwa ajaran Islam lebih ramah terhadap perempuan dibanding Kristen, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk terus mendekontruksi ajaran Islam. Para feminis menuduh bahwa fikih Islam dianggap paling bertanggung jawab terhadap pandangan-pandangan yang bias perempuan karena para fuqaha dianggap telah berkonspirasi untuk melestarikan hegemoni laki-laki atas perempuan. Nuansa kecurigaan seperti ini adalah khas para feminis yang terpengaruh ideologi Marxis, di mana perempuan ditempatkan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Dalam berbagai tulisan mengenai gender, para feminis berusaha mengkritisi teks-teks yangmenjadi sumber hukum Islam kemudian merubahnya sesuai dengan ide-ide feminisme. Terinspirasi dari pandangan Fatimah Mernissi, Mazhar ul-Haq Khan, Asghar Ali Engineer, serta tokoh-tokoh liberal lainnya, para feminis secara tendensius menggiring para muslimah untuk meyakini bahwa interpretasi ajaran Islam yang ada saat ini didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal, sehingga diperlukan pembacaan ulang dan dekonstruksi penafsiran lama. Penafsiran baru yang dimaksudkan oleh para feminis adalah tafsir hermeneutika feminis, yaitu metode historis-sosiologis yang digunakan Barat untuk merombak ajaran agama Kristen yang menyudutkan perempuan. Hasil penafsiran baru para feminis adalah produk hukum yang menyimpang sebagaimana kita saksikan pada tanggal 18 Maret 2005, Aminah Wadud, seorang feminis, memimpin shalat Jumat di sebuah Gereja di New York, yang diikuti sekitrar 100 jamaah, laki-laki dan perempuan.
Umat Islam perlu waspada karena kesetaraan gender telah menjadi salah satu agenda penting liberalisasi Islam. Target mereka adalah meracuni pemikiran para muslimah sehingga mereka dengan sukarela meninggalkan nilai-nilai luhur Islam dan melepaskan simbol-simbol agama yang dianggap tidak sesuai lagi dengan masyarakat modern. Feminisme dan liberalisme memiliki akar yang sama yaitu relativisme, paham yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. (Shalahuddin, 2007) Maka tak heran jika gerakan feminis menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan perempuan“.
Di negara-negara Barat, kebebasan tersebut kemudian diterjemahkan sebagai hak untuk melepaskan segala ikatan yang membelenggu aktivitas perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, baik ikatan agama maupun moralitas. Bangsa Perancis mulai memandang hubungan di luar nikah sebagai sesuatu yang biasa menjelang akhir abad ke 19, begitu juga negara Eropa lainnya dan Amerika. Isu kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan bukan merupakan tindakan melanggar hukum. Laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan perlahan-lahan memperoleh status legal sehingga banyak perempuan di Barat memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan.
Isu kebebasan telah membuat para remaja putri tidak malu-malu lagi mengeksploitasi tubuh mereka dengan alasan perempuan memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri. Perzinahan didukung oleh negara ketika alat-alat kontrasepsi dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum. Sementara para orang tua tidak ambil pusing jika anak mereka melakukan hubungan sex di luar pernikahan, asal tidak terjadi kehamilan, karena menurut mereka, mengasuh dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab moral yang tinggi. Tetapi jika kehamilan tidak dapat dihindari, kebanyakan perempuan Barat akan melakukan aborsi tanpa rasa bersalah. Gerakan perempuan di Barat telah berhasil melegalkan praktik aborsi dengan dalilh perlindungan terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Bagi perempuan yang masih memiliki hati nurani, mereka memilih menjadi single parents walau konsekuensinya anak-anak itu terlahir dan tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya. Saat ini, eksploitasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak semakin merajalela, yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kesetaraan gender juga menyuburkan praktek homoseksual dalam masyarakat. Hillary Lips, seorang tokoh feminis Barat, dalam buku a New Psychology of Women ;Gender, Culture, and Ethnicity, mengungkapkan bahwa gender tidak terdiri dari dua jenis, yaitu feminin dan maskulin seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Beliau mengakui adanya gender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Gender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang berpakaian gender lainnya). Pengakuan terhadap adanya gender ke tiga membuat kaum feminis terus memperjuangkan hak kaum lesbi / homoseksual di seluruh dunia dan menuntut negara mengesahkan pernikahan mereka secara hukum. Bahkan dalam perspektif feminis radikal , pasangan lesbi memiliki tempat yang “terhormat“ karena dalam hubungan heteroseksual perempuan cendrung menjadi pihak yang tersubordinasi- di mana pada pasangan lesbi, perempuan justru memiliki kontrol setara sehingga tidak terjadi dominisasi dalam hubungan seksual di antara mereka.


Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, umat Islam seharusnya lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi agenda-agenda feminisme yang sering kali disusupkan melalui program pemberdayaan perempuan. Kemunduran yang dialami umat Islam saat ini tidak dapat diselesaikan dengan mengadopsi mentah-mentah pemikiran Barat, apalagi dengan memaksakan syariat Islam agar tunduk kepada pemikiran tersebut. Gerakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan perempuan adalah dengan kembali meneladani para muslimah di jaman keemasan Islam, bukan malah menjiplak pemikiran dan gaya hidup perempuan Barat yang kebablasan. Kajian-kajian perempuan harus difokuskan pada upaya menggali warisan khazanah pemikiran Islam di masa lalu, ketika para muslimah pada masa itu berhasil menjadi madrasah pencetak para ulama sekaligus ilmuwan besar yang memiliki keluruhan akhlak dan kekuatan iman. Suatu keberhasilan yang tidak akan pernah dicapai gerakan feminis walau kelahirannya sudah lebih dari dua abad berselang.

Sunday, 19 April 2009

AMNESIA SEJARAH



By Najma Syira

Sejarah ibarat sebuah cermin yang merefleksikan dan memberikan identitas pada sebuah peradaban. Sedangkan setiap bentuk penafsiran terhadapnya, sangat mempengaruhi sikap dan tingkah laku para pelaku sejarah di masa depan. Ketika Napoleon Bonaparte melakukan penaklukan demi penaklukan untuk menyatukan seluruh wilayah bekas kekaisaran romawi dalam kekuasaannya, Raja Prancis itu mengklaim dirinya sebagai penerus spiritual Romawi. Ia membuat dirinya dilukis mengenakan mahkota daun defnaf yang biasa digunakan kaisar-kaisar Romawi. Dan Napoleon bukan satu-satunya orang yang mendasarkan tindakannya pada sebuah penafsiran sejarah. Carl J. Richard, seorang ahli sejarah Amerika, mengatakan bahwa para pendiri Negara Amerika menghabiskan sebagian besar masa kecil dan dewasanya untuk mempelajari kitab-kitab latin klasik. Bagi mereka sejarah bukan sesuatu yang mati, tetapi sesuatu yang hidup, khususnya sejarah romawi yang penuh makna pribadi dan sosial dan kemudian berpengaruh penting bagi revolusi Amerika.

Penafsiran terhadap sejarah juga membuat seorang yahudi bernama Theodore Herzl kemudian mencetuskan gagasannya tentang ”negara Yahudi”. Gagasan tersebut akhirnya menginspirasi sebagian kaum Yahudi untuk mewujudkan cita-cita Herzl yaitu mendirikan sebuah negara di tanah yang dijanjikan Tuhan, yaitu Palestina. Jadi tidak heran jika pembantaian dan pengusiran terhadap rakyat Palestina tidak dianggap sebagai suatu dosa atau pelanggaran terhadap kemanusiaan bagi Zionis Israel, karena mereka merasa memiliki klaim teologis dan historis atas Palestina.


Bangsa Barat dan Yahudi sangat memahami nilai strategis sebuah sejarah. Oleh karena itu mereka berduyun-duyun melakukan kajian, penelitian, dan penulisan sejarah, bukan hanya sejarah mereka sendiri, tetapi juga merambah pada sejarah peradaban Islam. Di saat yang sama umat Islam justru mengalami amnesia terhadap sejarahnya, kehilangan jati diri, dan tidak bangga terhadap ke Islamannya. Seiring dengan memudarnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam, penulisan sejarah Islam banyak dilakukan oleh kaum orientalis dan murid-muridnya yang membela propaganda mereka. Padahal menurut Muhammad Quthb, karya-karya mereka memiliki kelemahan dari sisi metodologi, jauh dari tanggung jawab ilmiah, dan diwarnai motivasi untuk mewujudkan tujuan tertentu yang tersembunyi di dalam dada orang-orang yang tidak menginginkan agama Islam berkembang dengan baik (1995 ). Cobalah teliti lebih cermat buku-buku sejarah Islam yang bertebaran di toko buku saat ini. Kita akan dengan mudah menemukan sebagian besar buku sejarah peradaban Islam di Indonesia, merupakan buah karya orientalis atau muslim yang terpengaruh oleh pemikiran mereka. Mereka (musuh-musuh Islam-red) telah melakukan upaya sistematis dalam mendekonstrusi sejarah Islam sampai umat Islam benar-benar melupakan kegemilangan sejarah peradabannya di masa lalu.

Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka umat tidak memiliki pilihan kecuali memahami sejarahnya melalui kacamata barat yang jauh dari nilai-nilai Islam. Barat dengan tafsiran barunya, bebas memberi label dan mencitrakan umat Islam sesuai kehendak dan prasangka mereka. Dalam perspektif barat, siapapun yang ingin mengembalikan kejayaan peradaban Islam akan diberi cap teroris, radikal, fundamentalis dan diperlakukan sebagai musuh peradaban barat. Kita tahu barat telah menyematkan label ”teroris” kepada Hamas, hanya karena mereka berjuang secara konsisten untuk membebaskan Palestina dari cengkraman penjajah Israel. Mereka yang menganggap Hamas bertanggung jawab atas penyerangan Israel ke jalur Gaza, pasti terkena “amnesia sejarah” dan melupakan (atau sengaja melupakan) jejak berdarah yang ditinggalkan Negara Yahudi di bumi Palestina sejak tahun 1948. Israel tidak akan pernah berhenti melakukan teror terhadap rakyat Palestina sebelum bumi Palestina seluruhnya jatuh dalam genggaman mereka.

Amnesia sejarah membuat para pemimpin Islam melupakan siapa musuh mereka sebenarnya. Betapa memilukan menyaksikan beberapa pemimpin Islam takluk pada tekanan barat dan ”dipaksa” duduk bersama mereka ketika hujan bom dan peluru Israel membumi hanguskan Gaza. Mereka berbicara tentang HAM dan perdamaian, tapi tidak pernah sungguh-sungguh menghapus penjajahan dari bumi Palestina. Mereka juga mengklaim sebagai negara paling demokratis, tetapi memboikot kemenangan Hamas dalam pemilu tahun 2006 dan membiarkan Gaza diblokade dari dunia luar sehingga terjadi krisis kemanusiaan. Umat Islam lupa jika dunia Eropa dan Amerika berdiri dalam satu barisan dalam menghadapi dunia Islam, dan jiwa perang salib masih tetap melekat di dada mereka, begitulah menurut Sayyid Quthb, seorang tokoh pergerakan Ikhawanul Muslimin yang menjadi cikal bakal berdirinya Hamas.

Kita tidak sedang menghakimi seluruh masyarakat barat, tetapi tidak bisa dipungkiri, pemerintahan di negara-negara barat telah lama terjangkiti sindrom Islamophobia. Dunia boleh lupa pada pidato Bush ketika tentara Amerika melakukan penyerangan ke Afghanistan dan menganggap perang itu sebagai crussade atau ”Perang Salib”, tetapi sebagai umat Islam, kita tidak boleh melupakan fakta sejarah ini. Kita adalah saksi hidup kebiadaban yang dipertontonkan Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya terhadap dunia Islam, maka umat Islam harus mendokumentasikan peristiwa tragis itu dalam sebuah catatan sejarah yang akan dibaca oleh generasi muslim di masa depan, agar mereka bersatu padu dalam menghadapi setiap kekuatan yang mencoba menghancurkan umat Islam.

Kita mungkin berharap seorang pahlawan seperti Salahuddin Al Ayubi akan datang membebaskan bumi Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Padahal sosok Salahudin tidak serta merta muncul tanpa suatu sebab yang mendahuluinya. Ia adalah produk sebuah peradaban yang lahir dari rahim para ulama yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup. Sejatinya, ini adalah tugas besar bagi umat Islam untuk menelaah, mengkaji dan menafsirkan kembali sejarahnya dengan benar, tidak hanya mengekor pemikiran orientalis yang notabene tidak pernah merasakan ruh Islam bergejolak dalam dada mereka. Sejarah jangan lagi diperlakukan sebagai kumpulan fakta dan menjadi tumpukan dokumentasi masa lalu, tetapi umat Islam harus mampu menjadikan sejarah sebagai pelajaran berharga dalam bentuk rangkaian aturan-aturan Allah (sunnatullah) yang sangat efektif membantu menemukan jalan menuju kemajuan beradaban dan menghindari kesalahan-kesalahan generasi masa lalu.

Saturday, 18 April 2009

Siluet Senja di Ghaza



Senja di Ghaza. Kota di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Aku mengendap-endap menyelinap ke sebuah bangunan kumuh dan tak terawat. Pintunya berderik keras ketika dibuka, Di sudut ruangan tergeletak sebuah lemari reot dipenuhi tumpukan buku-buku yang telah berdebu. Sepasang kursi malas mengapit lemari itu, yang tak kalah tua dan usangnya. Kuletakkan senjata laras panjang di atas bangku itu dengan hati-hati, begitu juga topeng hitam yang biasa menyelimuti wajahku. Perlahan-lahan aku bergerak masuk dan berdiri terpaku dalam tawanan sepasang mata hitam yang menatap dingin dari dalam sebuah kamar.
“Mengapa engkau kemari ?” suara serak perempuan tua itu masih sama. Usia tidak mampu menaklukan kekuatan ruhiah yang terpancar dari kata-katanya. Aku terdiam tak mampu membalas tatapan matanya. Dari sudut mataku kulihat dua bocah laki-laki tertidur pulas di atas pembaringan. Wajah mereka yang putih dan pucat mengingatkanku kepada ibu mereka. Hatiku nelangsa membayangkan masa depan macam apa yang akan dihadapi mereka.
“Maafkan aku karena kelemahan hatiku, tapi … ijinkan aku untuk berada di sini sebentar saja,” kataku setengah memelas, tak berdaya dihadapan perempuan tua yang telah melahirkan dan membesarkanku. Wajah perempuan yang selalu berhiaskan senyuman itu kini terlihat keras dan dingin, seolah tak mengharapkan kehadiranku dihadapannya. Aku merasa canggung dengan sambutannya yang kaku. Tapi aku memaklumi kekecewaannya. Ia pernah berpesan untuk tidak kembali menemuinya jika tidak ada hal teramat penting yang ingin disampaikan. Hal itu bisa membahayakan keselamatan kami semua.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami larut dalam keheningan untuk sesaat. Rasanya ingin aku bersimpuh seperti dulu…. tapi kini aku tak mampu.
“Apa yang meresahkanmu ?” bibirnya yang keriput bergerak lambat. Mencoba menebak apa yang sedang berkecamuk dalam hatiku. Aku menelan ludah, mencoba menghindari tatapan matanya.
“Aku mungkin … ” ujarku gemetar. Wajah muramku semakin muram. “…aku mungkin tak bisa meneruskan perjuangan ini...” kataku penuh duka. Kenyataan itu mengiris hatiku dan meluluh lantakan ketegaranku. Ketika peluru panas dari senjata yang kupegang, menembus tubuh seorang laki-laki yang kemudian meregang nyawa dihadapanku. Aku tercenung… tak mampu melanjutkan kata-kataku. Bayang-bayang pertempuran itu merobek kulit yang membungkus jiwaku. Mengucurkan darah yang sulit untuk kuhentikan. Betapa bodohnya dia… bukankah musuh kita sama ? bukankah seharusnya kita bersatu mengusir penjajah yang merampas tanah air dan hak rakyat Palestina? Mataku memanas. Ada monster bergerak-gerak dalam perutku. Aku muak… muak dengan segala yang kurasakan.
Pandangan perempuan tua itu semakin menusuk… kerutan di wajahnya kini terlihat jelas. Ada duka bergelayut, tetapi ekspresinya masih tetap sama.
“Jadi kau hendak mundur ?” katanya kaku. Sekilas kulihat kekecewaan berkelebat di matanya, bergantian dengan kekhawatiran.
“Aku…. aku tak tahu…” ujarku getir. Bagaimana mungkin aku mundur dan membiarkan kaum yang dilaknat Allah itu menghancurkan kiblat pertama umat Islam. Tapi kini aku harus berhadapan dengan sesama rakyat Palestina, saudara-saudara kami yang bersikap lemah terhadap tekanan sekutu-sekutu Zionis Israel. Bagaimana mungkin saudara kami masih percaya dengan janji manis mereka ? Mereka memaksakan demokrasi ala Barat di Negara kami. Tapi ketika kemudian hasilnya tidak sesuai dengan keinginan mereka, dengan mudah mereka mengkhianatinya… dengan mudah mereka menodainya.
Perempuan tua yang prinsip hidupnya terpancang kuat bagai karang dilautan, kini bangkit perlahan dari duduknya. Ia bergerak menghampiriku dengan kaki pincangnya karena pengeroposan tulang yang dideritanya. Gamis hitam yang membalut tubuhnya terlihat begitu lusuh dan bulukan. Perang telah membuat kami semua tak lagi memikirkan kesejahteraan. Bisa bertahan hidup sampai saat ini rasanya sudah merupakan suatu anugrah yang layak untuk disyukuri. Disyukuri karena kami masih memiliki waktu untuk beramal di dunia dengan berjuang. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk berjihad seperti layaknya kami, bangsa Palestina. Begitu selalu kudengar dari mulut kecil perempuan tua yang kini telah berdiri di hadapanku.
Aku menatapnya lama sekali. Wajah tirusnya terlihat pucat seperti pualam dengan kantung mata menggantung di bawah kedua matanya yang selalu bersinar cerah. Ingin sekali kuserahkan segala kegelisahanku pada jiwanya yang begitu damai. Tak pernah ia khawatir kehilangan apapun kecuali harga diri dan keimanannya. Tak pernah kulihat ia mengeluh pada saat dirinya harus menjaga diriku dan kedua kakakku yang masih kecil-kecil, pada saat suaminya tercinta diambil dari sisinya. Abi gugur sebagai syuhada, begitu yang selalu ia ceritakan pada kami.
“Ini bukan pertama kalinya kau menghadapi saudaramu. Jauh sebelum ini, selalu ada orang yang menodai kehormatan bangsanya sendiri,” kata-katanya keras menghujam bagai belati yang merobek-robek hati pendengarnya. Aku terpekur… gelisah, badanku mengeluarkan keringat dingin yang tak bisa kucegah. Sepertinya hawa dingin mendekapku seketika dan menggrogoti sel-sel dalam tubuhku.
“Benarkah yang kulakukan ?” tanyaku pasrah. Aku sekali lagi hendak menyandarkan kegalauanku di pundaknya yang kecil, tapi kekuatan jiwanya jauh lebih besar dari tubuhnya yang ringkih. Matanya yang bercahaya seketika meredup, seolah ia baru saja mendapatkan berita buruk. Ia terdiam sesaat, kemudian menjawab pertanyaanku sambil memegang tanganku yang kasar, penuh dengan bekas luka akibat pertempuran.
“Mempertahankan kebenaran selalu menuntut pengorbanan. Jangan pernah berharap jalan itu akan mudah.” katanya sambil meremas tanganku dengan keras, seolah hendak mengalirkan semangat hidupnya kepadaku.
Aku menunduk, menatapi ujung sepatuku yang solnya sudah sedikit menganga. Aku tahu benar kemana arah percakapan ini. Ia telah menegaskan sejak dulu, bahwa jiwa seorang muslim telah tergadai kepada Allah. Ketika seorang muslim meyakini bahwa hanya Allah semata yang menjadi tujuannya hidupnya, maka dirinya tak akan lemah. Jika kesenangan meliputinya, seorang muslim akan bersyukur, dan ketika kesulitan dating menjerat, ia akan bersabar. Allah menyukai muslim yang kuat, itu yang biasanya dikatakan perempuan tua itu pada saat kesukaran demi kesukaran dilaluinya dengan tenang dan tegar.
Tapi kini kesedihan dan kemarahan sepertinya justru melemahkan diriku. Bagaimana mungkin sebagian pemimpin di negeri ini, yang seharusnya mengobarkan semangatnya untuk memerangi para penjajah, justru tergoda melihat dolar-dolar yang disebarkan oleh musuhnya. Memungutinya karena takut lapar, dan rela mengkhianati bangsanya sendiri. Apakah mereka lupa, bahwa Rosulullah dan para sahabat pernah diboikot oleh kaum kafir Mekah selama 3 tahun, tetapi mereka tetap kuat mempertahankan akidahnya ? mengapa kini sebagian saudara-saudara kami, rela dijadikan budak-budak yang mengabdi pada kepentingan Zionis demi kekuasaan ? Sungguh menyedihkan… tak pernah kulihat hal yang sebodoh ini.
Mata perempuan tua itu mengamati diriku tanpa berkedip, sepertinya ia berusaha menahan kerinduan yang nyaris meledak dari dalam dadanya. Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Kutinggalkan dua laki-laki kecil, buah cintaku, dalam pengasuhannya. Ketika pagi itu bom Zionis menggelegar, meluluh lantakan pasar dekat tempat tinggalku, dan menewaskan puluhan nyawa tak bersalah. Salah satunya adalah istriku yang saat itu sedang mengandung anakku yang ketiga. Kenangan itu kembali menari-nari dalam ingatanku. Aku begitu merindukan istriku. Berharap senyumnya muncul dari balik pintu kamar ini dengan anak-anak dalam pangkuannya, dan menguatkan diriku yang lemah dan tak berdaya.
Mataku kembali memanas, kemudian butiran bening itu perlahan-lahan merebak di sekitar bola mataku. Kutahan sekuat tenaga agar mereka tak bergulir memenuhi pipiku. Aku tak membebani perempuan tua yang amat kucintai dengan emosi yang akan semakin memperlemah diriku . Tapi rasanya semua sia-sia. Ia telah menelanjangi hatiku dengan intuisinya dan naluri keibuanya yang begitu kuat.
“Menangislah … kau hanya manusia anakku… “ ujarnya pelan. Kekakuannya mulai menghilang, wajah tua itu mendadak melunak. Aku merasa kembali menjadi bocah berumur belasan tahun, yang selalu dihibur perempuan tua di hadapanku tiap kali aku merasa sedih . “Bukankah Rosulullah juga mengalami seperti yang kau rasakan, ketika ia kehilangan istri yang sangat ia cintai dan paman yang selalu membelanya ? Ia pun merasa sedih, ketika dakwah yang ia sampaikan berujung kepada penghinaan dan penyiksaan.” katanya lembut mencoba membesaran hatiku. Senyum mengembang dari sudut mulutnya yang mungil.
Aku menghela nafas sambil mengusap sebutir air mata yang jatuh dari sudut mataku. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah dan letih. Aku berjalanan mendekati pembaringan di mana kedua anak laki-lakiku tertidur pulas. Kurebahkan badanku di sisi mereka, yang tak sadar akan kedatangan ayah yang tak pernah bisa mendampingi mereka. Kening mereka kukecup satu demi satu, diiringi doa dan pengharapan agar suatu hari kedamaian dapat kembali kami rasakan.
Kutatap langit-langit kamar yang masih sama ketika dulu aku tinggalkan. Seketika pikiranku mengembara ke masa lalu, ketika suara perempuan dihadapanku mengisi hari-hariku. Kamar ini merupakan saksi betapa kuatnya pengaruh seorang ibu dalam membentuk karakter anak-anaknya. Aku masih ingat, ia selalu mengisi malam-malam kami yang mencekam dengan cerita perjuangan Rosulullah. Matanya berbinar-binar walaupun suara sirene dan tembakan bersaut-sautan di sekitar kami. Saat itu biasanya aku dan kedua kakakku akan gemetar ketakutan, menangis terisak-isak atau bahkan berteriak-teriak memanggil-manggil abi kami yang entah ada dimana. Tetapi perempuan hebat itu selalu berhasil menguatkan kami dengan cerita-ceritanya. Ia bercerita tentang kegigihan Rosulullah dalam menyampaikan kebenaran Islam. Tentang pertempuran-pertempuran yang dihadapi Rosul dan para sahabat dalam menegakkan panji-panji Islam di muka bumi. Ia juga berulang-ulang memberitahu kami, bahwa Rosulullah dan para sahabat tak pernah sedikitpun tergiur menerima tawaran harta, tahta dan kenikmatan dunia yang ditawarkan untuk membeli keimanan mereka. Rosulullah juga tak pernah bersekutu dengan orang-orang kafir untuk memerangi orang muslim lainnya. Umat muslim adalah umat yang terbaik, selama mereka tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Hadits, begitulah keyakinan yang selalu ia tanamkan dalam benak kami.
Aku menelan ludah. Mataku beralih membalas tatapan wajah tua yang masih menatapku penuh arti. Sekarang lihatlah kondisi umat yang kau banggakan, wahai Umi. Bagaimana kau masih bisa tersenyum, padahal kemaksiatan dan keburukan dikemas sedemikian indahnya oleh musuh-musuh kami, seolah-olah ia adalah suatu kebenaran. Sedangkan Al Qur’an dan Hadits sudah sejak lama ditinggalkan dan hanya menjadi barang pajangan di rumah – rumah kaum muslimin. Bagaimana kau menahan air matamu, ketika melihat para pemimpin umat ini berbondong-bondong menjual harga dirinya kepada kaum Zionis. Mereka mengundang para tentara kafir ke negerinya, kemudian memberondong saudara mereka sendiri dengan bom dan granat untuk mendapatkan kekuasaan ?
Lalu, bagaimana hatimu mampu meredam luka kekecewaan, ketika melihat sebagian umat muslim lainnya terjajah tanpa sadar. Mereka dibanjiri produk-produk Zionis yang sebagian dari keuntungannya digunakan untuk membeli peluru untuk menembaki bocah-bocah muslim di Palestina, Irak, Afganistan dan negeri-negeri muslim lainnya. Itu kenyataan Umiku. Aku juga yakin kau akan memilih untuk menjadi buta dan tuli, dari pada mendengar berita-berita palsu yang disebarkan oleh Zionis ke rumah-rumah keluarga muslim di seluruh dunia. Berita yang memfitnah dan mengadu domba. Berita yang membuat kami saling curiga dan terjebak dalam perang saudara yang tak kami inginkan. Lalu bagaimana kami bisa bertahan ?
Dadaku terasa sesak. Rasanya tidak mungkin menyatukan umat yang telah terpecah belah. Kami sudah terlalu buruk, tak ada lagi yang tersisa. Benar, jumlah kami memang banyak. Tapi kami tak lebih dari buih yang melayang-layang, tak memiliki kekuatan untuk menghadapi musuh. Kami dikepung dari segala penjuru, tak ada jalan untuk keluar. Ya… tak ada jalan keluar.
“Jangan pernah berputus asa dari rahmat-NYA …” tiba-tiba suara perempuan tua itu memutuskan lamunanku, seolah ia dapat membaca pikiran yang ada dalam benakku. “…tetaplah berjuang anakku. Berjuanglah seperti Hamzah, Umar dan para syuhada lainnya. Sandarkanlah niatmu hanya kepada Sang Pemilik Hidup,” kata-katanya, sekali lagi, begitu tenang dan menggetarkan.
Tiba-tiba suasana perang uhud seperti terbanyang dalam kepalaku. Ketika pertama umat Islam meperoleh kemenangan, semua terlena… tetapi kemudian kemenangan itu berbalik. Khalid bin Walid, yang ketika itu masih memimpin kaum kafir, berhasil memporak porandakan pasukan pemanah muslim yang tergiur oleh harta rampasan perang. Pasukan muslim tercerai berai, panik dan kehilangan arah. Sebagian dari mereka bahkan putus asa begitu mendengar kabar bahwa Rosulullah telah tiada. Tetapi sebagian dari mereka tetap bertahan, dengan darah dan nyawanya. Panji-panji Islam dipertahankan walau tubuh mereka tercacah pedang dan ratusan anak panah menghujani. Mereka bangkit… walau dengan sisa-sisa nafas yang masih mereka miliki.
“Janganlah kamu bersedih, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.* Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita,**“
Aku segera beristigfar mendengar kutipan Ayat-ayat Allah yang bergulir lembut dari mulut perempuan itu… badanku seperti ditarik ketika hampir saja terjatuh ke dalam lubang gelap yang dalam dan tak berujung. Tubuhku yang basah oleh keringat kini terasa sangat nyaman. Perlahan-lahan kutarik nafas panjang sambil kupejamkan kedua mataku. Aku dapat melihat wajah istriku yang cantik tersenyum kepadaku. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat indah sambil duduk di antara butiran mutiara di sisi sebuah telaga. Telaga itu sangat indah, airnya lebih putih dari susu, batu-batunya adalah intan berlian, dan mutiara. Disamping istriku, wajah Abi yang teduh dan kedua kakakku yang syahid belum lama ini, melambai riang kepadaku.
“Aku mencium wangi surga , Umi……” kataku lamat-lamat.
Perempuan tua itu tersenyum. Sinar matanya memancarkan cahaya keemasan yang merangkak naik menuju cakrawala nan luas, membiaskan siluet senja yang sangat indah. Siluet senja di Ghaza.

Depok, November 2007
______________________________________________________
* QS. Ali ‘Imran 139
** QS. At-Taubah 40