And because radical feminism recommends putting women first, making them the primary concern, this approach is accord lesbianism “an honoured place’ as a form of ‘mutual recognition between women’ (Chris Beasley,1999)
Wacana dan isu kesetaraan gender menggema dalam khazanah intelektual muslim Indonesia dimulai pada tahun 1989, ketika jurnal Ulumul Qur’an (UQ) memuat tulisan karya Jane I. Smith dan Yvonne Haddad. Isu yang sama kemudian dimunculkan UQ setahun kemudian dengan menerbitkan tulisan seorang feminis Muslim asal Pakistan, Riffat Hassan. Kedua artikel ini memiliki corak yang sama yaitu berusaha membongkar pemikiran agama Islam, yang menempatkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki. Dari situ kesetaraan gender mulai memikat hati sebagian intelektual muslimah, terutama mereka mengenyam pendidikan Barat melalui program woman study. Kehadiran lembaga donor internasional mempercepat perkembangan wacana dan pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Lembaga-lembaga donor tak segan-segan mengucurkan dana untuk program-program pengembangan kesadaran gender di kalangan intelektual Islam maupun masyarakat luas. LSM-LSM yang menggarap pesantren-pesantren tradisional kemudian bermunculan, sebut saja FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning), Rahima dan Puan Amal Hayati. ( Burhanudin-ed, 2004)
Timbul tanda tanya besar mengapa pihak Barat begitu bersemangat mengkampanyekan kesetaran gender di dunia Islam, ketika pada saat yang sama, isu tersebut mengalami stagnasi dan mulai ditinggalkan masyarakat Barat? Sangat disayangkan jika banyak intelektual muslim menutup mata terhadap bahaya pemikiran ini dan justru berperan sebagai agen dalam mempropagandakan kepada masyarakat luas. Umat Islam hendaknya tidak terpengaruh argumentasi yang menyatakan bahwa kesetaraan gender dapat menjadi solusi dari permasalahan kaum perempuan di dunia Islam, semisal kekerasan rumah tangga (domestic violence) , women trafficking, dan permasalahan sosial lainnya. Sampai saat ini, negara-negara Barat tidak pernah bisa membuktikan bahwa mereka berhasil mengatasi problematika sosial tersebut. Tetapi yang terjadi Justru sebaliknya, kehancuran moral telah merusak tatanan sosial masyarakat Barat, gerakan feminis kemudian disalahkan karena dianggap telah mengubah perempuan menjadi makhluk-makhluk gila karir dan menjauhkan mereka dari kehangatan keluarga.
Kelahiran feminisme sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Islam tidak pernah merampas hak kaum perempuan sebagaimana gereja merampas hak-hak individu dan sipil kaum perempuan selama ratusan tahun. Menurut McKay dalam bukunya a History of Western Society (1983), terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior, bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Doktrin dasar gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanita jualah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. (Maududi, 1995)
Kehidupan keras yang dialami oleh perempuan-perempuan pada saat gereja memerintah Eropa tertuang dalam essai Francis Bacon pada tahun 1612 yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri), di mana disebutkan banyak laki-laki memilih untuk hidup lajang, jauh dari pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak sehingga dapat berkonsentrasi pada kehidupan publiknya. (Arivia, 2002) Mereka tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun, dan hak tersebut baru mereka peroleh pada tahun 1792 M melalui perjuangan yang berat. Perempuan Barat menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan. Kondisi tersebut sangat kontras dengan kondisi perempuan di dunia Islam pada kurun waktu yang sama. Sejak jaman Rasulullah, kaum perempuan telah meramaikan majelis-majelis ilmu, berpartisipasi dalam kegiatan bisnis, bahkan beberapa di antara mereka telah menorehkan tinta emas di medan peperangan, seperti Nusaibah di Perang Uhud dan Khaulah pada perang melawan Imperium Bizantium.
Beberapa feminis mengakui bahwa ajaran Islam lebih ramah terhadap perempuan dibanding Kristen, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk terus mendekontruksi ajaran Islam. Para feminis menuduh bahwa fikih Islam dianggap paling bertanggung jawab terhadap pandangan-pandangan yang bias perempuan karena para fuqaha dianggap telah berkonspirasi untuk melestarikan hegemoni laki-laki atas perempuan. Nuansa kecurigaan seperti ini adalah khas para feminis yang terpengaruh ideologi Marxis, di mana perempuan ditempatkan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Dalam berbagai tulisan mengenai gender, para feminis berusaha mengkritisi teks-teks yangmenjadi sumber hukum Islam kemudian merubahnya sesuai dengan ide-ide feminisme. Terinspirasi dari pandangan Fatimah Mernissi, Mazhar ul-Haq Khan, Asghar Ali Engineer, serta tokoh-tokoh liberal lainnya, para feminis secara tendensius menggiring para muslimah untuk meyakini bahwa interpretasi ajaran Islam yang ada saat ini didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal, sehingga diperlukan pembacaan ulang dan dekonstruksi penafsiran lama. Penafsiran baru yang dimaksudkan oleh para feminis adalah tafsir hermeneutika feminis, yaitu metode historis-sosiologis yang digunakan Barat untuk merombak ajaran agama Kristen yang menyudutkan perempuan. Hasil penafsiran baru para feminis adalah produk hukum yang menyimpang sebagaimana kita saksikan pada tanggal 18 Maret 2005, Aminah Wadud, seorang feminis, memimpin shalat Jumat di sebuah Gereja di New York, yang diikuti sekitrar 100 jamaah, laki-laki dan perempuan.
Umat Islam perlu waspada karena kesetaraan gender telah menjadi salah satu agenda penting liberalisasi Islam. Target mereka adalah meracuni pemikiran para muslimah sehingga mereka dengan sukarela meninggalkan nilai-nilai luhur Islam dan melepaskan simbol-simbol agama yang dianggap tidak sesuai lagi dengan masyarakat modern. Feminisme dan liberalisme memiliki akar yang sama yaitu relativisme, paham yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. (Shalahuddin, 2007) Maka tak heran jika gerakan feminis menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan perempuan“.
Di negara-negara Barat, kebebasan tersebut kemudian diterjemahkan sebagai hak untuk melepaskan segala ikatan yang membelenggu aktivitas perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, baik ikatan agama maupun moralitas. Bangsa Perancis mulai memandang hubungan di luar nikah sebagai sesuatu yang biasa menjelang akhir abad ke 19, begitu juga negara Eropa lainnya dan Amerika. Isu kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan bukan merupakan tindakan melanggar hukum. Laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan perlahan-lahan memperoleh status legal sehingga banyak perempuan di Barat memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan.
Isu kebebasan telah membuat para remaja putri tidak malu-malu lagi mengeksploitasi tubuh mereka dengan alasan perempuan memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri. Perzinahan didukung oleh negara ketika alat-alat kontrasepsi dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum. Sementara para orang tua tidak ambil pusing jika anak mereka melakukan hubungan sex di luar pernikahan, asal tidak terjadi kehamilan, karena menurut mereka, mengasuh dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab moral yang tinggi. Tetapi jika kehamilan tidak dapat dihindari, kebanyakan perempuan Barat akan melakukan aborsi tanpa rasa bersalah. Gerakan perempuan di Barat telah berhasil melegalkan praktik aborsi dengan dalilh perlindungan terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Bagi perempuan yang masih memiliki hati nurani, mereka memilih menjadi single parents walau konsekuensinya anak-anak itu terlahir dan tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya. Saat ini, eksploitasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak semakin merajalela, yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kesetaraan gender juga menyuburkan praktek homoseksual dalam masyarakat. Hillary Lips, seorang tokoh feminis Barat, dalam buku a New Psychology of Women ;Gender, Culture, and Ethnicity, mengungkapkan bahwa gender tidak terdiri dari dua jenis, yaitu feminin dan maskulin seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Beliau mengakui adanya gender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Gender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang berpakaian gender lainnya). Pengakuan terhadap adanya gender ke tiga membuat kaum feminis terus memperjuangkan hak kaum lesbi / homoseksual di seluruh dunia dan menuntut negara mengesahkan pernikahan mereka secara hukum. Bahkan dalam perspektif feminis radikal , pasangan lesbi memiliki tempat yang “terhormat“ karena dalam hubungan heteroseksual perempuan cendrung menjadi pihak yang tersubordinasi- di mana pada pasangan lesbi, perempuan justru memiliki kontrol setara sehingga tidak terjadi dominisasi dalam hubungan seksual di antara mereka.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, umat Islam seharusnya lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi agenda-agenda feminisme yang sering kali disusupkan melalui program pemberdayaan perempuan. Kemunduran yang dialami umat Islam saat ini tidak dapat diselesaikan dengan mengadopsi mentah-mentah pemikiran Barat, apalagi dengan memaksakan syariat Islam agar tunduk kepada pemikiran tersebut. Gerakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan perempuan adalah dengan kembali meneladani para muslimah di jaman keemasan Islam, bukan malah menjiplak pemikiran dan gaya hidup perempuan Barat yang kebablasan. Kajian-kajian perempuan harus difokuskan pada upaya menggali warisan khazanah pemikiran Islam di masa lalu, ketika para muslimah pada masa itu berhasil menjadi madrasah pencetak para ulama sekaligus ilmuwan besar yang memiliki keluruhan akhlak dan kekuatan iman. Suatu keberhasilan yang tidak akan pernah dicapai gerakan feminis walau kelahirannya sudah lebih dari dua abad berselang.
Wacana dan isu kesetaraan gender menggema dalam khazanah intelektual muslim Indonesia dimulai pada tahun 1989, ketika jurnal Ulumul Qur’an (UQ) memuat tulisan karya Jane I. Smith dan Yvonne Haddad. Isu yang sama kemudian dimunculkan UQ setahun kemudian dengan menerbitkan tulisan seorang feminis Muslim asal Pakistan, Riffat Hassan. Kedua artikel ini memiliki corak yang sama yaitu berusaha membongkar pemikiran agama Islam, yang menempatkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki. Dari situ kesetaraan gender mulai memikat hati sebagian intelektual muslimah, terutama mereka mengenyam pendidikan Barat melalui program woman study. Kehadiran lembaga donor internasional mempercepat perkembangan wacana dan pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Lembaga-lembaga donor tak segan-segan mengucurkan dana untuk program-program pengembangan kesadaran gender di kalangan intelektual Islam maupun masyarakat luas. LSM-LSM yang menggarap pesantren-pesantren tradisional kemudian bermunculan, sebut saja FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning), Rahima dan Puan Amal Hayati. ( Burhanudin-ed, 2004)
Timbul tanda tanya besar mengapa pihak Barat begitu bersemangat mengkampanyekan kesetaran gender di dunia Islam, ketika pada saat yang sama, isu tersebut mengalami stagnasi dan mulai ditinggalkan masyarakat Barat? Sangat disayangkan jika banyak intelektual muslim menutup mata terhadap bahaya pemikiran ini dan justru berperan sebagai agen dalam mempropagandakan kepada masyarakat luas. Umat Islam hendaknya tidak terpengaruh argumentasi yang menyatakan bahwa kesetaraan gender dapat menjadi solusi dari permasalahan kaum perempuan di dunia Islam, semisal kekerasan rumah tangga (domestic violence) , women trafficking, dan permasalahan sosial lainnya. Sampai saat ini, negara-negara Barat tidak pernah bisa membuktikan bahwa mereka berhasil mengatasi problematika sosial tersebut. Tetapi yang terjadi Justru sebaliknya, kehancuran moral telah merusak tatanan sosial masyarakat Barat, gerakan feminis kemudian disalahkan karena dianggap telah mengubah perempuan menjadi makhluk-makhluk gila karir dan menjauhkan mereka dari kehangatan keluarga.
Kelahiran feminisme sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Islam tidak pernah merampas hak kaum perempuan sebagaimana gereja merampas hak-hak individu dan sipil kaum perempuan selama ratusan tahun. Menurut McKay dalam bukunya a History of Western Society (1983), terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior, bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Doktrin dasar gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanita jualah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. (Maududi, 1995)
Kehidupan keras yang dialami oleh perempuan-perempuan pada saat gereja memerintah Eropa tertuang dalam essai Francis Bacon pada tahun 1612 yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri), di mana disebutkan banyak laki-laki memilih untuk hidup lajang, jauh dari pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak sehingga dapat berkonsentrasi pada kehidupan publiknya. (Arivia, 2002) Mereka tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun, dan hak tersebut baru mereka peroleh pada tahun 1792 M melalui perjuangan yang berat. Perempuan Barat menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan. Kondisi tersebut sangat kontras dengan kondisi perempuan di dunia Islam pada kurun waktu yang sama. Sejak jaman Rasulullah, kaum perempuan telah meramaikan majelis-majelis ilmu, berpartisipasi dalam kegiatan bisnis, bahkan beberapa di antara mereka telah menorehkan tinta emas di medan peperangan, seperti Nusaibah di Perang Uhud dan Khaulah pada perang melawan Imperium Bizantium.
Beberapa feminis mengakui bahwa ajaran Islam lebih ramah terhadap perempuan dibanding Kristen, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk terus mendekontruksi ajaran Islam. Para feminis menuduh bahwa fikih Islam dianggap paling bertanggung jawab terhadap pandangan-pandangan yang bias perempuan karena para fuqaha dianggap telah berkonspirasi untuk melestarikan hegemoni laki-laki atas perempuan. Nuansa kecurigaan seperti ini adalah khas para feminis yang terpengaruh ideologi Marxis, di mana perempuan ditempatkan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Dalam berbagai tulisan mengenai gender, para feminis berusaha mengkritisi teks-teks yangmenjadi sumber hukum Islam kemudian merubahnya sesuai dengan ide-ide feminisme. Terinspirasi dari pandangan Fatimah Mernissi, Mazhar ul-Haq Khan, Asghar Ali Engineer, serta tokoh-tokoh liberal lainnya, para feminis secara tendensius menggiring para muslimah untuk meyakini bahwa interpretasi ajaran Islam yang ada saat ini didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal, sehingga diperlukan pembacaan ulang dan dekonstruksi penafsiran lama. Penafsiran baru yang dimaksudkan oleh para feminis adalah tafsir hermeneutika feminis, yaitu metode historis-sosiologis yang digunakan Barat untuk merombak ajaran agama Kristen yang menyudutkan perempuan. Hasil penafsiran baru para feminis adalah produk hukum yang menyimpang sebagaimana kita saksikan pada tanggal 18 Maret 2005, Aminah Wadud, seorang feminis, memimpin shalat Jumat di sebuah Gereja di New York, yang diikuti sekitrar 100 jamaah, laki-laki dan perempuan.
Umat Islam perlu waspada karena kesetaraan gender telah menjadi salah satu agenda penting liberalisasi Islam. Target mereka adalah meracuni pemikiran para muslimah sehingga mereka dengan sukarela meninggalkan nilai-nilai luhur Islam dan melepaskan simbol-simbol agama yang dianggap tidak sesuai lagi dengan masyarakat modern. Feminisme dan liberalisme memiliki akar yang sama yaitu relativisme, paham yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. (Shalahuddin, 2007) Maka tak heran jika gerakan feminis menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan perempuan“.
Di negara-negara Barat, kebebasan tersebut kemudian diterjemahkan sebagai hak untuk melepaskan segala ikatan yang membelenggu aktivitas perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, baik ikatan agama maupun moralitas. Bangsa Perancis mulai memandang hubungan di luar nikah sebagai sesuatu yang biasa menjelang akhir abad ke 19, begitu juga negara Eropa lainnya dan Amerika. Isu kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan bukan merupakan tindakan melanggar hukum. Laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan perlahan-lahan memperoleh status legal sehingga banyak perempuan di Barat memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan.
Isu kebebasan telah membuat para remaja putri tidak malu-malu lagi mengeksploitasi tubuh mereka dengan alasan perempuan memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri. Perzinahan didukung oleh negara ketika alat-alat kontrasepsi dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum. Sementara para orang tua tidak ambil pusing jika anak mereka melakukan hubungan sex di luar pernikahan, asal tidak terjadi kehamilan, karena menurut mereka, mengasuh dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab moral yang tinggi. Tetapi jika kehamilan tidak dapat dihindari, kebanyakan perempuan Barat akan melakukan aborsi tanpa rasa bersalah. Gerakan perempuan di Barat telah berhasil melegalkan praktik aborsi dengan dalilh perlindungan terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Bagi perempuan yang masih memiliki hati nurani, mereka memilih menjadi single parents walau konsekuensinya anak-anak itu terlahir dan tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya. Saat ini, eksploitasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak semakin merajalela, yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kesetaraan gender juga menyuburkan praktek homoseksual dalam masyarakat. Hillary Lips, seorang tokoh feminis Barat, dalam buku a New Psychology of Women ;Gender, Culture, and Ethnicity, mengungkapkan bahwa gender tidak terdiri dari dua jenis, yaitu feminin dan maskulin seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Beliau mengakui adanya gender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Gender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang berpakaian gender lainnya). Pengakuan terhadap adanya gender ke tiga membuat kaum feminis terus memperjuangkan hak kaum lesbi / homoseksual di seluruh dunia dan menuntut negara mengesahkan pernikahan mereka secara hukum. Bahkan dalam perspektif feminis radikal , pasangan lesbi memiliki tempat yang “terhormat“ karena dalam hubungan heteroseksual perempuan cendrung menjadi pihak yang tersubordinasi- di mana pada pasangan lesbi, perempuan justru memiliki kontrol setara sehingga tidak terjadi dominisasi dalam hubungan seksual di antara mereka.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, umat Islam seharusnya lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi agenda-agenda feminisme yang sering kali disusupkan melalui program pemberdayaan perempuan. Kemunduran yang dialami umat Islam saat ini tidak dapat diselesaikan dengan mengadopsi mentah-mentah pemikiran Barat, apalagi dengan memaksakan syariat Islam agar tunduk kepada pemikiran tersebut. Gerakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan perempuan adalah dengan kembali meneladani para muslimah di jaman keemasan Islam, bukan malah menjiplak pemikiran dan gaya hidup perempuan Barat yang kebablasan. Kajian-kajian perempuan harus difokuskan pada upaya menggali warisan khazanah pemikiran Islam di masa lalu, ketika para muslimah pada masa itu berhasil menjadi madrasah pencetak para ulama sekaligus ilmuwan besar yang memiliki keluruhan akhlak dan kekuatan iman. Suatu keberhasilan yang tidak akan pernah dicapai gerakan feminis walau kelahirannya sudah lebih dari dua abad berselang.