Sunday, 19 April 2009

AMNESIA SEJARAH



By Najma Syira

Sejarah ibarat sebuah cermin yang merefleksikan dan memberikan identitas pada sebuah peradaban. Sedangkan setiap bentuk penafsiran terhadapnya, sangat mempengaruhi sikap dan tingkah laku para pelaku sejarah di masa depan. Ketika Napoleon Bonaparte melakukan penaklukan demi penaklukan untuk menyatukan seluruh wilayah bekas kekaisaran romawi dalam kekuasaannya, Raja Prancis itu mengklaim dirinya sebagai penerus spiritual Romawi. Ia membuat dirinya dilukis mengenakan mahkota daun defnaf yang biasa digunakan kaisar-kaisar Romawi. Dan Napoleon bukan satu-satunya orang yang mendasarkan tindakannya pada sebuah penafsiran sejarah. Carl J. Richard, seorang ahli sejarah Amerika, mengatakan bahwa para pendiri Negara Amerika menghabiskan sebagian besar masa kecil dan dewasanya untuk mempelajari kitab-kitab latin klasik. Bagi mereka sejarah bukan sesuatu yang mati, tetapi sesuatu yang hidup, khususnya sejarah romawi yang penuh makna pribadi dan sosial dan kemudian berpengaruh penting bagi revolusi Amerika.

Penafsiran terhadap sejarah juga membuat seorang yahudi bernama Theodore Herzl kemudian mencetuskan gagasannya tentang ”negara Yahudi”. Gagasan tersebut akhirnya menginspirasi sebagian kaum Yahudi untuk mewujudkan cita-cita Herzl yaitu mendirikan sebuah negara di tanah yang dijanjikan Tuhan, yaitu Palestina. Jadi tidak heran jika pembantaian dan pengusiran terhadap rakyat Palestina tidak dianggap sebagai suatu dosa atau pelanggaran terhadap kemanusiaan bagi Zionis Israel, karena mereka merasa memiliki klaim teologis dan historis atas Palestina.


Bangsa Barat dan Yahudi sangat memahami nilai strategis sebuah sejarah. Oleh karena itu mereka berduyun-duyun melakukan kajian, penelitian, dan penulisan sejarah, bukan hanya sejarah mereka sendiri, tetapi juga merambah pada sejarah peradaban Islam. Di saat yang sama umat Islam justru mengalami amnesia terhadap sejarahnya, kehilangan jati diri, dan tidak bangga terhadap ke Islamannya. Seiring dengan memudarnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam, penulisan sejarah Islam banyak dilakukan oleh kaum orientalis dan murid-muridnya yang membela propaganda mereka. Padahal menurut Muhammad Quthb, karya-karya mereka memiliki kelemahan dari sisi metodologi, jauh dari tanggung jawab ilmiah, dan diwarnai motivasi untuk mewujudkan tujuan tertentu yang tersembunyi di dalam dada orang-orang yang tidak menginginkan agama Islam berkembang dengan baik (1995 ). Cobalah teliti lebih cermat buku-buku sejarah Islam yang bertebaran di toko buku saat ini. Kita akan dengan mudah menemukan sebagian besar buku sejarah peradaban Islam di Indonesia, merupakan buah karya orientalis atau muslim yang terpengaruh oleh pemikiran mereka. Mereka (musuh-musuh Islam-red) telah melakukan upaya sistematis dalam mendekonstrusi sejarah Islam sampai umat Islam benar-benar melupakan kegemilangan sejarah peradabannya di masa lalu.

Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka umat tidak memiliki pilihan kecuali memahami sejarahnya melalui kacamata barat yang jauh dari nilai-nilai Islam. Barat dengan tafsiran barunya, bebas memberi label dan mencitrakan umat Islam sesuai kehendak dan prasangka mereka. Dalam perspektif barat, siapapun yang ingin mengembalikan kejayaan peradaban Islam akan diberi cap teroris, radikal, fundamentalis dan diperlakukan sebagai musuh peradaban barat. Kita tahu barat telah menyematkan label ”teroris” kepada Hamas, hanya karena mereka berjuang secara konsisten untuk membebaskan Palestina dari cengkraman penjajah Israel. Mereka yang menganggap Hamas bertanggung jawab atas penyerangan Israel ke jalur Gaza, pasti terkena “amnesia sejarah” dan melupakan (atau sengaja melupakan) jejak berdarah yang ditinggalkan Negara Yahudi di bumi Palestina sejak tahun 1948. Israel tidak akan pernah berhenti melakukan teror terhadap rakyat Palestina sebelum bumi Palestina seluruhnya jatuh dalam genggaman mereka.

Amnesia sejarah membuat para pemimpin Islam melupakan siapa musuh mereka sebenarnya. Betapa memilukan menyaksikan beberapa pemimpin Islam takluk pada tekanan barat dan ”dipaksa” duduk bersama mereka ketika hujan bom dan peluru Israel membumi hanguskan Gaza. Mereka berbicara tentang HAM dan perdamaian, tapi tidak pernah sungguh-sungguh menghapus penjajahan dari bumi Palestina. Mereka juga mengklaim sebagai negara paling demokratis, tetapi memboikot kemenangan Hamas dalam pemilu tahun 2006 dan membiarkan Gaza diblokade dari dunia luar sehingga terjadi krisis kemanusiaan. Umat Islam lupa jika dunia Eropa dan Amerika berdiri dalam satu barisan dalam menghadapi dunia Islam, dan jiwa perang salib masih tetap melekat di dada mereka, begitulah menurut Sayyid Quthb, seorang tokoh pergerakan Ikhawanul Muslimin yang menjadi cikal bakal berdirinya Hamas.

Kita tidak sedang menghakimi seluruh masyarakat barat, tetapi tidak bisa dipungkiri, pemerintahan di negara-negara barat telah lama terjangkiti sindrom Islamophobia. Dunia boleh lupa pada pidato Bush ketika tentara Amerika melakukan penyerangan ke Afghanistan dan menganggap perang itu sebagai crussade atau ”Perang Salib”, tetapi sebagai umat Islam, kita tidak boleh melupakan fakta sejarah ini. Kita adalah saksi hidup kebiadaban yang dipertontonkan Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya terhadap dunia Islam, maka umat Islam harus mendokumentasikan peristiwa tragis itu dalam sebuah catatan sejarah yang akan dibaca oleh generasi muslim di masa depan, agar mereka bersatu padu dalam menghadapi setiap kekuatan yang mencoba menghancurkan umat Islam.

Kita mungkin berharap seorang pahlawan seperti Salahuddin Al Ayubi akan datang membebaskan bumi Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Padahal sosok Salahudin tidak serta merta muncul tanpa suatu sebab yang mendahuluinya. Ia adalah produk sebuah peradaban yang lahir dari rahim para ulama yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup. Sejatinya, ini adalah tugas besar bagi umat Islam untuk menelaah, mengkaji dan menafsirkan kembali sejarahnya dengan benar, tidak hanya mengekor pemikiran orientalis yang notabene tidak pernah merasakan ruh Islam bergejolak dalam dada mereka. Sejarah jangan lagi diperlakukan sebagai kumpulan fakta dan menjadi tumpukan dokumentasi masa lalu, tetapi umat Islam harus mampu menjadikan sejarah sebagai pelajaran berharga dalam bentuk rangkaian aturan-aturan Allah (sunnatullah) yang sangat efektif membantu menemukan jalan menuju kemajuan beradaban dan menghindari kesalahan-kesalahan generasi masa lalu.

No comments: